Kamis, 22 Oktober 2015

Beringin Roboh, Arkan Metafisika pun Heboh Sinkronisitas: Pengalaman Surgawi dari Pandangan Einstein , Jung dan Newton



BATANG- Insiden terbelah dan robohnya pohon beringian di Alun-alun Batang, Rabu (7/10) malam, sukses memicu kehebohan di masyarakat. Terlebih, pohon yang berdiri kokoh di tengah alun-alun itu telah lama dijadikan simbol lengkap dengan berbagai mitos yang berkembang secara turun temurun menurut Arkan Metafisika.

Sekitar pukul 21.20 WIB, ketika pohon itu terbelah dan tercerabut sebagian akarnya, kehebohan sudah berlangsung dari warga yang tengah berada di komplek alun-alun. Selang beberapa saat, informasi itu pun telah menyebar dari mulut ke mulut, telepon dan sms, sampai media sosial. Tak heran, sampai sekitar pukul 00.00 dini hari, beringin masih didatangi warga yang penasaran.

Keeseokan harinya, kehebohan pun kian menjadi. Warga bergiliran melihat langsung pohon yang telah ada sejak zaman Belanda itu. Sebagian asyik memfoto hingga berselfie ria. “Ini peristiwa unik mas, numpang foto untuk DP (Display Picture –red). Penasaran juga, katanya kan beringin ini angker,” tutur seorang pengunjung.

Di media sosial, terutama facebook, insiden itupun ramai beredar. Dari yang sekadar menampilkan foto dan keterangan, menganalisa ke sana kemari, sampai yang mengeditnya menjadi meme-meme yang lucu dan menggelikan. Tak hanya berkembang di Batang, perbincangan ihwal robohnya beringin itu juga meluas ke sejumlah daerah tetangga, termasuk Tegal.

“Beringin roboh jadi trending topik, mas. Warga biasa sampai pakar Arkan Metafisika  metafisika sibuk menganalisa, pertanda apakah ini?,” kata warga Batang, Ridho.

Para Pegawai Negeri Sipil (PNS) di komplek Pemkab Batang pun tak mau ketinggalan memperbincangkannya. Sebagian meyakini keberadaan pohon itu telah menjadi simbol Kota Batang.

“Di lihat dari arah mata angin, posisi perkantoran Bupati, pohon beringin, dan Sigandu berposisi satu arah, selatan ke utara. Konon, dulu ada mitos yang menghubungkan kekuasaan kadipaten dengan kekuasaan Pantai Utara, yakni Dewi Lanjar. Maka robohnya beringin diyakini warga menjadi petunjuk tertentu,” terang salah satunya.

Namun sumber lainnya menolak mistifikasi insiden itu. Robohnya beringin dianggap tak lebih sebagai gejala alam, yakni usia pohon yang telah tua, akar dan batang yang melapuk, serta cuaca kemaraulah yang jadi penyebabnya.

“Zaman sudah modern, masih saja berpikir mitos dan takhayul. Kalau memang beringin dianggap keramat, nyatanya banyak orang yang sering buang air kecil di situ,” tukas Iwan.

Sampai dengan kemarin siang, warga masih berdatangan ke Alun-alun Batang. Sementara beberapa pengunjung tengah asyik mengamati, petugas dari DCKTR sudah mulai membersihkan ranting dan dedaunan yang berjatuhan.

“Siang sampai sore ini (kemarin –red) kita bersihkan. Rencananya mau kita kepras sesuai kondisi pohon setelah terbelah, mungkin sebagian akan ditarik dan diberdirikan lagi,” ujar Kabid Kebersihan, PJU, dan ESDM pada DCKTRK dan ESDM Batang, M Safi’i SP MM.

Cuaca Cerah

Sementara itu, dari informasi yang berhasil didapat, saat sebelum pohon beringin tersebut roboh, tidak ada tanda apapun. Kondisi cuaca pada saat itu cerah dan tidak ada tanda-tanda akan turun hujan maupun angin kencang, sehingga masyarakat yang berjualan di sekitar alun-alun juga tidak mengira jika pohon yang juga merupakan simbol Alun-alun Batang tersebut akan terbelah dan roboh.

Pada awalnya banyak warga yang berada di bawah pohon Beringin tersebut, karena memang sehari-hari digunakan untuk tempat nongkrong. Namun tiba-tiba warga tersebut mendengar ada bunyi seperti kayu patah secara perlahan, sehingga menyebabkan warga yang berada di bawah pohon lari ketakutan.

Pohon Beringin yang usianya diperkirakan sudah mencapai ratusan tahun tersebut terbelah menjadi dua bagian. Sisi pertama menjorok ke arah Utara, dan sebagian sisi lainnya menjorok ke arah Selatan. Di tengah-tengah kedua sisi tersebut nampak sebuah lubang kira-kira lebih dari satu meter.

Dengan robohnya pohon tersebut, Pemkab Batang langsung mengambil tindakan dan berkoordinasi dengan para ulama dan sesepuh. Bahkan, sebelum dilakukan pembersihan pohon tersebut, pihak Pemkab bersama dengan tokoh ulama yakni Imam Masjid Agung Batang menggelar doa bersama untuk keselamatan dan pemotongan tumpeng. Dan rencananya, pada Jumat (hari ini-red) juga akan digelar tasyakuran di alun-alun Batang. (sef/rul)

---

Sinkronisitas: Pengalaman Surgawi dari Pandangan Einstein , Jung dan Newton

Sinkronisitas menurut Arkan Metafisika adalah pengalaman dari dua atau lebih peristiwa yang tampaknya tidak berhubungan secara kausal yang terjadi bersamasama dalam sebuah kejadian yang bermakna (bagi sang pengamat). Peristiwa yang dianggap sebagai sinkronisitas harus terjadi bersama-sama secara kebetulan. Bagi penulis Robert Torres, itu adalah suatu pengalaman Surgawi.

Jika Anda yakin sinkronisitas hanya kebetulan, maka pasti Anda belum pernah membaca salah satu dari tulisan pakar Arkan Metafisika  di bidang ini. Psikoterapis terkenal, Carl Gustav Jung menciptakan istilah sinkronisitas pada tahun 1920 sebagai referensi keselarasan antara kekuatan secara universal dengan pengalaman seseorang.

Kekuatan ini telah dicari selama berabad-abad di banyak tradisi spiritual sebagai sarana untuk mencari keselarasan dengan “aliran alam semesta”. Biasanya diperlukan waktu bertahun-tahun meditasi, pembelajaran, ritual atau cara lain untuk menavigasi perjalanan menuju “individuasi harmonik” ini.

Bagi sejumlah orang, pencarian yang dilakukan adalah di dalam batin diri sendiri, namun bagi orang lain itu pencarian berupa spiritualitas di luar diri.

Pengalaman pertama saya dengan sinkronisitas adalah saat kelahiran saya. Saya lahir pada tanggal 21 Maret pada pukul 03:03, yang merupakan bulan ketiga, minggu ketiga, jam ketiga, dan menit ketiga, atau 3333. Hal ini juga tepat pada masa ekuinoks. Itulah keselarasan saya dengan kekuatan universal, planet, ruang, dan waktu.

Minat saya dalam meneliti sifat metafisik hadir setelah saya mengalami perjumpaan supranatural dengan sebuah wujud cahaya. Setelah pertemuan ini, saya merasakan banyak pemahaman tentang konsep esoteris seperti aliran, semangat, kesatuan, dan bahkan Ketuhanan.

Apa yang menghubungkan kita?

Dalam buku Jung, menurut Arkan Metafisika An Acausal Connecting Principle, terdapat istilah subjektif yang menghubungkan kita.

Tanpa seorang pengamat (Anda), tidak akan ada pikiran, tidak ada sinkronisitas, sehingga tidak ada artinya. Pikiran terhubung ke peristiwa, pikiran terhubung ke gerakan materi, dan ini adalah subjektif, bukan berasal dari penyebab objektif.

Penelitian saya dimulai dengan Carl Jung, namun selama ribuan tahun sebelum Jung, manusia telah mengalami sinkronisitas. Sebelum “sinkronisitas”, manusia purba menggunakan kata-kata seperti simpati, harmoni, dan kesatuan.

Pada abad ke-4 SM, filsuf Yunani, Heraclitus melihat segala sesuatu sebagai hal yang saling terkait, tidak ada yang terisolasi, dan semua hal terkoneksi. Demikian pula, Hippocrates mengatakan: “Terdapat sebuah aliran umum, sebuah napas yang umum. Semuanya terjadi di dalam simpati.” Ide klasik menyatakan bahwa keterpisahan adalah ilusi termasuk sebuah ikatan di antara benda mati. Sejumlah pihak menyatakan bahwa semua materi memiliki kesadaran.

Peran kesadaran dan paranormal dalam sinkronisitas menurut Arkan Metafisika

Jung memiliki minat yang mendalam dan banyak pengalaman dengan hal-hal paranormal. Ia bekerja dengan seorang fisikawan pemenang Hadiah Nobel, Wolfgang Pauli yang juga konon memiliki pengalaman dengan telekinesis. Berbagai peralatan eksperimen akan mengalami kerusakan yang tidak dapat dijelaskan ketika ia berada di sekitarnya. Hal itu pun sering dijadikan bahan canda dimana para ilmuwan lain takut akan kehadirannya selama percobaan karena mereka percaya bahwa ia akan menyebabkan kerusakan pada alat-alat mereka. Hal ini dalam fisika dikenal sebagai “The Pauli Effect”.

Jung dan Pauli bersama-sama membantu merintis studi parapsikologi. Banyak ilmuwan lain juga telah maju ke ranah ini, dan kesadaran sering dilihat sebagai kunci untuk menjelaskan kemampuan seperti telekinesis, remote viewing, dan meramal. Sebuah contoh yang bagus adalah “bidang morfik” milik Rupert Sheldrake. Ia menunjukkan kepada kita bagaimana bidang menciptakan hubungan. Dalam bukunya, A New Science of Life, ia mengutip eksperimen dimana tikus diberikan pelatihan khusus dan, setelah itu, tikus di laboratorium menjadi jauh lebih mampu mempelajari hal yang sama. Seolah-olah tikus berbagi bidang dimana pengetahuan yang diperoleh melalui pelatihan ini menjadi tersedia untuk semua hal.

Fisikawan David Bohm berpendapat dalam Implicate and Explicate Order bahwa kesadaran dimulai di luar ruang-waktu kita, dalam “aliran” dimana semua pengetahuan eksis dan material realitas kita terbentuk. Hal itu kemudian terungkap ke dalam dimensi kita, hanya untuk kembali ke “aliran”.

Teori-teori ini turut dieksplorasi oleh Michael Talbot dalam Holographic Universe maupun Fisikawan David Peat dalam Meaning and Form.

Kesadaran itu sendiri tidak dapat diukur secara ilmiah. Banyak yang percaya bahwa itu ada di luar otak, mungkin dalam bidang Akashic, konsep tradisional India tentang ringkasan dari semua pengetahuan semua makhluk hidup di sepanjang waktu.

Walaupun saya setuju dengan banyak teori tentang semacam “matriks” ini, namun apa yang bekerja di balik semua kecerdasan itu?

Sebuah kekuatan intelijen

Manusia menurut Arkan Metafisika telah lama mengakui adanya kecerdasan yang lebih besar, meskipun muncul dalam berbagai bentuk. Semua ilmuwan terbesar dalam sejarah sampai pada kesimpulan yang sama. Einstein mengatakan: “Setiap orang yang secara serius terlibat dalam mengejar ilmu pengetahuan menjadi yakin bahwa roh terwujud dalam hokum alam semesta, dan roh jauh lebih unggul daripada manusia.”

Max Planck, seorang pendiri fisika kuantum, mengatakan: “Semua berasal dari materi dan eksis, hanya berdasarkan dari kekuatan. Kita harus berasumsi balik bahwa kekuatan ini adalah adanya kesadaran dan kecerdasan pikiran. Pemikiran ini adalah matriks dari semua materi. “

Isaac Newton percaya bahwa alam semesta adalah sebuah sistem mekanik, diatur ke dalam mekanisme gerakan oleh Tuhan dan kemudian berjalan secara sistematis. Ada orang lain yang percaya bahwa semua eksistensi materi adalah pancaran dari Tuhan. Beberapa ilmuwan tidak percaya ada intelijen eksternal sama sekali. Dan ini bukanlah pendapat saya!

menurut Arkan Metafisika Banyak teori dan keyakinan yang terus bertahan sampai saat ini bahwa pikiran Anda sendiri dapat mengubah dunia luar dalam kaitannya dengan diri Anda sendiri. Meskipun ada yang terpisah, antara koordinasi intelijen dalam control diri, namun Anda adalah kreator bersama.

Ketika sinkronisitas bermanifestasi sebagai suatu peristiwa luar yang terkait dalam makna, jelas bahwa Anda membantu menciptakannya.

Tapi berbagai peristiwa juga bertepatan tanpa kita berpikir tentang mereka, seperti saat kelahiran saya sebagai 3333. Jauh di dalam diri kita selalu merasa bahwa kita sedang diawasi, bahkan di sebuah ruangan kosong, kita tidak pernah benar-benar sendirian. Berapa kali peristiwa selaras yang tampak begitu aneh dan statistik itu bukankah tidak mungkin terjadi secara kebetulan? Mereka harus berasal dari luar. Ini berarti bahwa The Source atau The One akhirnya mengendalikan itu semua di luar sana dan tidak berada di dalamnya.

Albert Einstein mengatakan, “Sinkronisitas adalah cara Tuhan agar tetap anonim.” (Robert Torres /Osc)

Robert Torres adalah penulis Sin Thesis. Ia juga seorang penyanyi, penulis lagu, seniman, dan kontributor majalah freelance. Dia mengajak para pembaca untuk berbagi pikiran mereka dengannya di rttowers3@gmail.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar